Tuesday, January 8, 2008

Revolusi Indonesia, Perjuangan Diplomasi atau Konfrontasi?


Sukarno, atas nama bangsa Indonesia, membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sebuah tonggak lahirnya Negara baru, terbebasnya bangsa dari tindasan bangsa asing, dan lunturnya rasialisme.

Kedatangan Sekutu yang berniat melucuti senjata tentara Jepang yang ternyata ditunggangi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration), membuat Kemerdekaan Indonesia terancam. Pemerintah Belanda tidak mengakui kemerdekaan republik dan berniat menanamkan kembali kekuasaannya atas Indonesia.

Zaman Revolusi Indonesia pun dimulai, perjuangan-perjuangan dilakukan lewat jalur perundingan maupun tindakan-tindakan revolusioner berupa konfrontasi langsung. Pihak-pihak yang mendukung jalur diplomasi seperti Sutan Sjahrir beranggapan bahwa Diplomasi adalah jalan keluar yang paling realistis agar Republik di akui secara de facto oleh dunia internasional khususnya pengakuan kedaulatan dari Belanda. Sementara pihak lainnya seperti Jenderal Sudirman, Tan Malaka beranggapan bahwa berunding dengan Pemerintahan Belanda tidak ada gunanya dan hanya akan merugikan Republik saja, tuntutan Merdeka 100% serta slogan-slogan “merdeka atau mati” menjadi tujuan perjuangan revolusioner.

Jalur Diplomasi sebagai langkah awal menghadapi Belanda. Hal ini perlu dilakukan karena pada saat itu, Belanda adalah pihak yang menang Perang Dunia II, dan Indonesia sama sekali belum dikenal di dunia internasional, selain itu proklamasi kemerdekaan pun belum banyak diketahui orang. Pengakuan dunia internasional menjadi penting sebagai modal awal menghadapi kolonialisme Belanda. Pada akhirnya jalur Diplomasi memang mengalami kegagalan. Perjanjian Linggarjati merugikan pihak Indonesia, selain itu pihak Belanda tidak mematuhi isi perjanjian dengan melakukan Agresi Militer I, pun dengan perjanjian Renville yang mulai melibatkan pihak ketiga mengalami kegagalan akibat ketidak patuhan Belanda terhadap isi perjanjian. Kegagalan demi kegagalan yang di telan oleh pihak yang berdiplomasi menimbulkan banyak kecaman dari dalam negeri khususnya dari mereka yang menuntut gerakan-gerakan revolusioner dan konfrontasi karena kecewa atas hasil-hasil yang dicapai selama ini. Yang menjadi poin penting sebenarnya adalah munculnya simpati dari dunia internasional terhadap perjuangan bangsa Indonesia, pengakuan kedaulatan dari kebanyakan Negara-negara di Afrika maupun Asia. Resolusi PBB serta kecaman terhadap agresi militer Belanda mendorong segera di bentuknya Republik Indonesia Serikat dan secara De Facto Belanda pun mengakui Kemerdekaan Indonesia pada 1949.

Konfrontasi merupakan jalan lain bagi perjuangan republik. Semenjak kegagalan perjuangan diplomasi, kelompok-kelompok radikal yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka telah menghimpun kekuatan dari berbagai kelompok seperti partai, laskar, dan, badan-badan yang dipersiapkan untuk melakukan perjuangan revolusioner bersenjata. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Belanda lewat Agresi Militer I dan II menunjukan ketidakseriusan pihak Belanda atas tuntutan pengakuan kedaulatan Indonesia, yang memang sejak awal telah disadari oleh Tan Malaka dan kelompoknya.

Sejak kegagalan diplomasi, haluan Belanda diarahkan kepada perang, hal ini terjadi karena perasaan frustasi atas kegagalannya menguasai republic. Serangan militer pada tengah malam tanggal 18 Desember merupakan sikap yang diambil Belanda terhadap kesepakatan gencatan senjata.

Sementara di Yogjakarta Soekarno-Hatta tetap bertahan dengan diplomasi hingga ditangkap oleh pasukan belanda dan Jenderal Sudirman tetap meneruskan gerilya.

Dari segi persamaan antara orang elite kota dan rakyat di pedesaan, zaman gerilya merupakan titik puncak seluruh proses revolusi.
Tanpa keberanian kaum muda dalam menghadapi senjata barat yang memungkinkan terjadinya anarki, para diplomat akan secara sia-sia berseru-seru di padang pasir. Namun suatu perbandingan dengan Vietnam dan Malaya, dimana keberanian serupa diperlihatkan tetapi lama kemerdekaan tidak diberikan, menunjukan keunggulan nyata diplomasi Indonesia. Diplomasi merupakan kartu truf yang penting untuk memperoleh dukungan Internasional yang membuka jalan menuju kemenangan pada tahun 1949.

No comments: