Tuesday, January 8, 2008

RIS dalam pertahanan dan keamanan

Setelah selesai perang, jumlah pasukan harus dikurangi karena keuangan Negara tidak mendukungnya. Mereka perlu mendapat penampungan bila diadakan rasionalisasi. Untuk itu pemerintah membuka kesempatan untuk melanjutkan pelajarannya dalam pusat-pusat pelatihan yang memberikan pendidikan keahlian untuk memberi mereka kesempatan menempuh karir sipil professional. Juga dilakukan usaha transmigrasi dengan wadah Corps Tjadangan Nasional (CTN). Walaupun demikian masalah ini belum dapat diselesaikan.

Dalam pembentukan APRIS (Angkatan Perang Republic Indonesia Serikat) intinya diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari kalangan bekas anggota Angkatan Perang Belanda.

Personil bekas Angkatan Perang Belanda yang akan dilebur kedalam APRIS meliputi sekitar 33.000 orang dengan 30 orang perwira. Pada angkatan udara diserahkan 10.000 orang. Pembentukan APRIS sebagai salah satu keputusan KMB dengan TNI sebagai intinya ternyata telah menimbulkan masalah psikologis. Disatu pihak TNI berkeberatan untuk bekerjasama dengan bekas musuhnya. Sebaliknya dari pihak KNIL terdapat pula tuntutan untuk ditetapkan sebagai aparat Negara bagian dan menentang masuknya TNI kedalam Negara bagian tersebut. Gejala ini terlihat di Bandung berupa gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang mengirimkan ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan serta menuntut untuk diakui sebagai Tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Negara tersebut. Di Kalimantan Barat Sultan Hamid II menentang masuknya TNI serta menolak untuk mengakui menteri pertahanan RIS dan menyatakan dialah yang berkuasa di daerah tersebut. Di Makasar muncul gerakan Andi Aziz dan di Ambon gerakan Republic Maluku Selatan (RMS). Keadaan tersebut sengaja diwariskan oleh kekuatan reaksioner Belanda dengan tujuan untuk mempertahankan kepentingan dan mengacaukan RIS, sehingga di dunia Internasional akan timbul citra bahwa RIS tidak mampu memelihara kamanan dan ketertiban di wilayah kekuasaannya. Selain harus mengatasi instabilitas nasional sebagai akibat bom-bom waktu yang sengaja ditinggalkan oleh pihak kolonialis, maka pemerintah juga tetap harus menghadapi pemberontakan DI/TII.
sumber : Sejarah Nasional Indonesia VI

No comments: